PENGORBANAN SEORANG SAHABAT
Sedikit demi
sedikit cahaya mulai muncul dari ufuk timur, burung-burung beterbangan,
tetesan-tetesan embun pagi berjatuhan, daun-daun bergelayutan karena hembusan
sang angin.
“Lis... Lisa...
ayo bangun, cepat mandi dan berangkat sekolah, sudah siang.” seperti biasa Ibu
Lisa membangunkannya.
Iya Bu...” lalu ia
bergegas bangun dan menuju ke kamar mandi. Setelah itu ia sarapan.
“Lisa... Lisa...”
seperti biasa seorang gadis memanggil Lisa tepat di depan pintu rumah Lisa, dan
ia adalah Mona teman sekaligus sahabat Lisa. Mereka kelas XII SMA Nusa Bangsa
di Bandung, mereka memiliki karakter yang bertentangan. Mona adalah wanita yang
anggun, feminim dan gak suka buat ulah, gak seperti Lisa yang tomboy dan suka
buat ulah. Tapi susah, sedih, dan senang mereka selalu bersama-sama.
“Iya Mon...
sebentar,” lalu ia bergegas keluar tapi sebelumnya ia pamitan sama Ibu dan
Ayahnya dulu, dan mereka berangkat bersama ke sekolah dengan berjalan kaki.
Seperti biasa, dipinggir jalan ada sebuah kaleng dan tanpa pikir panjang
langsung di tendang Lisa.
“Lisa... hilangin
dech kebiasaan burukmu itu,” tegur Mona.
“Iya... iya...
kayak Ibuku aja sich kamu,” jawab Lisa dengan santainya.
Setelah sampai di
sekolah, mereka langsung masuk kelas karena bel sudah berdering dan mereka
hampir terlambat. Sudah 4 jam mereka berada di dalam ruangan. Akhirnya ber
berdering dan waktunya istirahat, semua siswa keluar dari kelasnya
masing-masing. Begitupun dengan Mona dan Lisa, mereka lalu menuju kantin Mbak
Siti.
“Mbak... bakso 2
sama es teh 2 yach...” pesen Lisa pada Mbak Siti.
“Ok neng...” jawab
Mbak Siti dengan lebay.
“Lis... sebentar
lagi kita kan mau lulusan, rencana kamu mau nerusin ke mana??” dengan nada
suara rendah Mona menanyakan hal itu, tetapi Lisa masih saja bercanda dengan
teman sebelahnya.
“Lis...!!!” bentak
Mona.
“Ya... ya... ada
apa Mon,” dengan kagetnya Lisa menjawab.
“Kamu setelah ini
mau ngelanjutin di mana?? Kamu sich bercanda terus,” dengan kesal ia
menjelaskan pertanyaannya lagi.
“Maaf dech,
rencananya sich di UI.”
“Itu kan di
Jakarta, berarti...”
“Ya... aku akan
keluar dari kota ini, tapi kan kita bisa kontek-kontekan. Terus kamu sendiri di
mana?”
“Masih di Bandung
kok, abis mama gak mau ditinggal sich. Maklum, nyokap kan sendiri.”
Langit yang terang
berubah menjadi petang, seperti hati Mona yang ia rasakan sekarang. Sudah 5
tahun terakhir ini sang sahabat hilang tanpa kabar. Lima tahun terakhir ini ia
hanya mencari dan mencari sang sahabat, tetapi tidak membuahkan hasil sama
sekali dan ia tidak pernah putus asa. Suatu hari ia ingat bahwa Lisa dulu
pernah ngekos di Jakarta, tanpa pikir panjjang ia pun langsung menuju ke
Jakarta. Setelah sampai di sana, ia menemui Ibu kost.
“Permisi...
permisi...” sambil mengetuk pintu rumah ibu kost.
“Ya... ada apa??”
keluarlah ibu separuhbaya dan bertanya pada Mona.
“Permisi bu...
saya mau bicara sama pemilik kos di sini, ada??” tanya Mona.
“Oh... saya
sendiri. Silakan masuk...” suruh Ibu kos.
“ Iya... terima
kasih bu...” jawab Mona.
“Anda ini siapa,
terus ada perlu apa kamu datang kemari?”
“Saya Mona dari
Bandung, kedatangan saya kemari saya ingin bertanya apa di sini ada anak kos
yang bernama Lisa Mariska??” tanya Mona.
“Oh... Lisa anak
Bandung!!!” jawab Ibu kos.
“Iya bu... ibu
tahu,” dengan semangat ia menjawab.
“Dulu sich memang
ada, tapi sekarang anaknya sudah tidak di sini lagi,” seru Ibu kos.
“Ibu tahu dia
[indah ke mana??” tanya Mona.
“Saya dapat kabar
dari teman-temannya sih dia kembali ke rumahnya yang dulu dengan ibunya, dan
saya juga denger-denger dia punya penyakit parah,” ujar Ibu kost.
“Penyakit parah!!!
Penyakit parah apa bu??” tanya Mona dengan kaget.
“Ibu sih gak tahu
dia punya penyakit apa,” jawab Ibu kost.
Mendengar kabar
tersebut Mona langsung buru-buru pamit dan menuju ke Bandung tempat tinggal
Lisa dulu.
“Tok... tok...
tok...” Mona mengetuk pintu rumah sederhana.
“Ya... mencari
siapa yach!!!” keluar ibu-ibu dengan raut muka yang kaget, dan langsung ibu
tersebut menutup pintunya.
“Tante... tante...
tolong buka pintunya, aku mau ketemu Lisa...” pinta Mona pada ibu tersebut
dengan merengek menangis dan memohon.
“Dia kan sahabat
anakku, kenapa aku harus menghalanginya,” ujar Ibu Lisa dalam hati.
“Tante... aku
mohon tante,” pinta Mona lagi.
“Baiklah...
silakan masuk...” suruh Ibu Lisa sambil membuka pintu.
“Terima kasih...
tante, tante saya mohon kasih tahu saja di mana Lisa...” pinta Mona.
“Lisa sekarang
tidak seperti dulu lagi, dia sekarang sangat menderita. Kalau kamu mau lihat,
sekarang dia ada di kamarnya..” jawab Ibu Lisa sambil meneteskan air mata.
“Memang Lisa
mempunyai penyakit apa tante...” tanya Mona.
“Sebenarnya Lisa
mengidap penyakit gagal ginjal,” jawab Ibu Lisa.
“Apa...!! Boleh
aku menemui Lisa tante...” Pinta Mona.
“Boleh... kamu
masih inget kan di mana kamar Lisa.”
“Iya tante, terima
kasih...”
“Sama-sama, kamu
kan juga sahabat Lisa dari kecil.”
Pelan-pelan Mona
melangkahkan kakinya menuju ke kamar Lisa, dan ternyata....
“Lis...!!!”
perlahan Mona mendekati Lisa dengan meneteskan air mata, ia tidak tega melihat
sahabatnya hanya berbaring di atas tempat tidur tidak bisa apa-apa.
“Mon...” Lisa
sangat kaget dengan kedatangan Mona.
“Kenapa kamu
lakuin ini semua, kamu menghilang tanpa kabar... Kamu tahu nggak selama ini tuh
aku nyariin kamu,” ucap Mona sambil menangis.
“Ma’afin aku, aku
gak bermaksud untuk menghilang, aku hanya tidak mau membuat kamu sedih dengan
keadaanku sekarang. Aku sekarang gak berguna bagi siapa-siapa lagi, termasuk
kamu Mon,” jelas Lisa.
“Tapi dengan kamu
berbuat seperti ini kamu malah membuat aku sedih.”
“Ma’afin aku ya
Mon,” pinta Lisa pada Mona. Lalu mereka berpelukan dan setelah itu Mona lalu
pulang dengan hati yang tenang dan senang karena ia sudah bertemu dengan sang
sahabat kembali.
Malam pun tiba,
waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Suasana pun sunyi, hanya suara-suara
jangkrik dan kodok yang terdengar saling bersahutan. Sementara itu, Mona masih
termenung memikirkan sesuatu. Ia memikirkan sang sahabat, ia takut terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di
pikirannya.
“Aku harus
mendonorkan ginjalku pada Lisa, itu satu-satunya cara untuk meonolongnya. Aku
akan melakukan apapun untuk sahabatku,” pikirnya.
Pagi pun tiba, ia
bergegas pergi ke rumah Lisa untuk membicarakan niatnya pada Ibu Lisa.
“Apa...!!!” Ibu
Lisa kagetnya bukan main, setelah mendengar maksud Mona.
“Iya tante,
keputusanku sudah bulat. Aku ingin berkorban untuk sahabatku meskipun nyawa
taruhannya,” jelasnya.
“Kalau itu sudah
menjadi keputusanmu, tante hanya bisa mendo’akan yang terbaik saja. Tapi,
bagaimana dengan orang tuamu Mon.”
“Kalau itu sih..
sudah tante. Awalnya sih mereka gak setuju, tapi setelah aku menjelaskan,
mereka setuju.”
“Terus... kapan
kamu siap Mon??” tanya Ibu Lisa.
“Besok tante, aku
sudah mempersiapkan semua. Besok kita tinggal bertemu di rumah sakit. Tapi..
tante jangan bilang kalau aku yang menjadi pendonornya.”
Pagi pun tiba,
Mona bergegas pergi ke rumah sakit dengan diantar orang tuanya. Akhirnya waktu
yang ditunggu-tunggu pun tiba, Mona mengalami ketegangan yang luar biasa.
Setelah 8 jam lamanya, operasipun selesai. Dokter keluar dari ruang
operasi.
“Gimana dok
operasinya...” tanya Ibu Lisa.
“Operasinya
lancar, tapi...”
“Tapi kenapa
dok...” dengan perasaan yang takut Ibu Lisa bertanya.
“Salah satu dari
mereka ada yang tidak selamat, yaitu Mona.”
“Apa...!!!” dengan
kagetnya orang tua Mona mendengar kabar tersebut.
Setelah dua hari
tidur dari pengaruh obat bius, akhirnya Lisa sadar.
“Bu...” rengek
Lisa.
“Iya, kamu sudah
sadar, kamu minta apa??” tanya Ibu Lisa.
“Mona mana Bu, dan
sebenarnya siapa yang menjadi pendonor butku.”
“Mona sekarang
sudah senang dan tenang di sana Lis...”
“Maksudnya apa
Bu...” tanya Lisa.
“sebenarnya yang
menjadi pendonormu itu Mona Lis dan sekarang dia sudah di alam sana,” dengan
meneteskan air mata Ibu Lisa menceritakan.
“Apa... Bu, kenapa
dia lakukan itu...” dengan kaget dan menangis Lisa menanyakan.
“Karena ia sangat
menyanyangimu Lis,” jawab singkat Ibu Lisa.
3 hari kemudian,
Lisa sudah bisa keluar dari rumah sakit. Ia berkunjung ke makam sahabtanya.
“Meskipun kamu
tidak bisa bersamaku, tetapi engkau selalu di hatiku karena salah satu organ
tubuhmu ada bersamaku,” ucap Lisa di depan makam Mona.
Sekarang Lisa
hidup normal seperti biasa dengan ginjal yang diberikan oleh sahabatnya Mona,
dan sekarang ia lebih sering berkunjung ke makam sahabatnya.
No comments:
Post a Comment