Saturday, December 7, 2013

PENGORBANAN SEORANG SAHABAT



PENGORBANAN SEORANG SAHABAT

            Sedikit demi sedikit cahaya mulai muncul dari ufuk timur, burung-burung beterbangan, tetesan-tetesan embun pagi berjatuhan, daun-daun bergelayutan karena hembusan sang angin.
            “Lis... Lisa... ayo bangun, cepat mandi dan berangkat sekolah, sudah siang.” seperti biasa Ibu Lisa membangunkannya.
            Iya Bu...” lalu ia bergegas bangun dan menuju ke kamar mandi. Setelah itu ia sarapan.
            “Lisa... Lisa...” seperti biasa seorang gadis memanggil Lisa tepat di depan pintu rumah Lisa, dan ia adalah Mona teman sekaligus sahabat Lisa. Mereka kelas XII SMA Nusa Bangsa di Bandung, mereka memiliki karakter yang bertentangan. Mona adalah wanita yang anggun, feminim dan gak suka buat ulah, gak seperti Lisa yang tomboy dan suka buat ulah. Tapi susah, sedih, dan senang mereka selalu bersama-sama.
            “Iya Mon... sebentar,” lalu ia bergegas keluar tapi sebelumnya ia pamitan sama Ibu dan Ayahnya dulu, dan mereka berangkat bersama ke sekolah dengan berjalan kaki. Seperti biasa, dipinggir jalan ada sebuah kaleng dan tanpa pikir panjang langsung di tendang Lisa.
            “Lisa... hilangin dech kebiasaan burukmu itu,” tegur Mona.
            “Iya... iya... kayak Ibuku aja sich kamu,” jawab Lisa dengan santainya.
            Setelah sampai di sekolah, mereka langsung masuk kelas karena bel sudah berdering dan mereka hampir terlambat. Sudah 4 jam mereka berada di dalam ruangan. Akhirnya ber berdering dan waktunya istirahat, semua siswa keluar dari kelasnya masing-masing. Begitupun dengan Mona dan Lisa, mereka lalu menuju kantin Mbak Siti.
            “Mbak... bakso 2 sama es teh 2 yach...” pesen Lisa pada Mbak Siti.
            “Ok neng...” jawab Mbak Siti dengan lebay.
            “Lis... sebentar lagi kita kan mau lulusan, rencana kamu mau nerusin ke mana??” dengan nada suara rendah Mona menanyakan hal itu, tetapi Lisa masih saja bercanda dengan teman sebelahnya.
            “Lis...!!!” bentak Mona.
            “Ya... ya... ada apa Mon,” dengan kagetnya Lisa menjawab.
            “Kamu setelah ini mau ngelanjutin di mana?? Kamu sich bercanda terus,” dengan kesal ia menjelaskan pertanyaannya lagi.
            “Maaf dech, rencananya sich di UI.”
            “Itu kan di Jakarta, berarti...”
            “Ya... aku akan keluar dari kota ini, tapi kan kita bisa kontek-kontekan. Terus kamu sendiri di mana?”
            “Masih di Bandung kok, abis mama gak mau ditinggal sich. Maklum, nyokap kan sendiri.”
            Langit yang terang berubah menjadi petang, seperti hati Mona yang ia rasakan sekarang. Sudah 5 tahun terakhir ini sang sahabat hilang tanpa kabar. Lima tahun terakhir ini ia hanya mencari dan mencari sang sahabat, tetapi tidak membuahkan hasil sama sekali dan ia tidak pernah putus asa. Suatu hari ia ingat bahwa Lisa dulu pernah ngekos di Jakarta, tanpa pikir panjjang ia pun langsung menuju ke Jakarta. Setelah sampai di sana, ia menemui Ibu kost.
            “Permisi... permisi...” sambil mengetuk pintu rumah ibu kost.
            “Ya... ada apa??” keluarlah ibu separuhbaya dan bertanya pada Mona.
            “Permisi bu... saya mau bicara sama pemilik kos di sini, ada??” tanya Mona.
            “Oh... saya sendiri. Silakan masuk...” suruh Ibu kos.
            “ Iya... terima kasih bu...” jawab Mona.
            “Anda ini siapa, terus ada perlu apa kamu datang kemari?”
            “Saya Mona dari Bandung, kedatangan saya kemari saya ingin bertanya apa di sini ada anak kos yang bernama Lisa Mariska??” tanya Mona.
            “Oh... Lisa anak Bandung!!!” jawab Ibu kos.
            “Iya bu... ibu tahu,” dengan semangat ia menjawab.
            “Dulu sich memang ada, tapi sekarang anaknya sudah tidak di sini lagi,” seru Ibu kos.
            “Ibu tahu dia [indah ke mana??” tanya Mona.
            “Saya dapat kabar dari teman-temannya sih dia kembali ke rumahnya yang dulu dengan ibunya, dan saya juga denger-denger dia punya penyakit parah,” ujar Ibu kost.
            “Penyakit parah!!! Penyakit parah apa bu??” tanya Mona dengan kaget.
            “Ibu sih gak tahu dia punya penyakit apa,” jawab Ibu kost.
            Mendengar kabar tersebut Mona langsung buru-buru pamit dan menuju ke Bandung tempat tinggal Lisa dulu.
            “Tok... tok... tok...” Mona mengetuk pintu rumah sederhana.
            “Ya... mencari siapa yach!!!” keluar ibu-ibu dengan raut muka yang kaget, dan langsung ibu tersebut menutup pintunya.
            “Tante... tante... tolong buka pintunya, aku mau ketemu Lisa...” pinta Mona pada ibu tersebut dengan merengek menangis dan memohon.
            “Dia kan sahabat anakku, kenapa aku harus menghalanginya,” ujar Ibu Lisa dalam hati.
            “Tante... aku mohon tante,” pinta Mona lagi.
            “Baiklah... silakan masuk...” suruh Ibu Lisa sambil membuka pintu.
            “Terima kasih... tante, tante saya mohon kasih tahu saja di mana Lisa...” pinta Mona.
            “Lisa sekarang tidak seperti dulu lagi, dia sekarang sangat menderita. Kalau kamu mau lihat, sekarang dia ada di kamarnya..” jawab Ibu Lisa sambil meneteskan air mata.
            “Memang Lisa mempunyai penyakit apa tante...” tanya Mona.
            “Sebenarnya Lisa mengidap penyakit gagal ginjal,” jawab Ibu Lisa.
            “Apa...!! Boleh aku menemui Lisa tante...” Pinta Mona.
            “Boleh... kamu masih inget kan di mana kamar Lisa.”
            “Iya tante, terima kasih...”
            “Sama-sama, kamu kan juga sahabat Lisa dari kecil.”
            Pelan-pelan Mona melangkahkan kakinya menuju ke kamar Lisa, dan ternyata....
            “Lis...!!!” perlahan Mona mendekati Lisa dengan meneteskan air mata, ia tidak tega melihat sahabatnya hanya berbaring di atas tempat tidur tidak bisa apa-apa.
            “Mon...” Lisa sangat kaget dengan kedatangan Mona.
            “Kenapa kamu lakuin ini semua, kamu menghilang tanpa kabar... Kamu tahu nggak selama ini tuh aku nyariin kamu,” ucap Mona sambil menangis.
            “Ma’afin aku, aku gak bermaksud untuk menghilang, aku hanya tidak mau membuat kamu sedih dengan keadaanku sekarang. Aku sekarang gak berguna bagi siapa-siapa lagi, termasuk kamu Mon,” jelas Lisa.
            “Tapi dengan kamu berbuat seperti ini kamu malah membuat aku sedih.”
            “Ma’afin aku ya Mon,” pinta Lisa pada Mona. Lalu mereka berpelukan dan setelah itu Mona lalu pulang dengan hati yang tenang dan senang karena ia sudah bertemu dengan sang sahabat kembali.
            Malam pun tiba, waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Suasana pun sunyi, hanya suara-suara jangkrik dan kodok yang terdengar saling bersahutan. Sementara itu, Mona masih termenung memikirkan sesuatu. Ia memikirkan sang sahabat, ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di pikirannya.
            “Aku harus mendonorkan ginjalku pada Lisa, itu satu-satunya cara untuk meonolongnya. Aku akan melakukan apapun untuk sahabatku,” pikirnya.
            Pagi pun tiba, ia bergegas pergi ke rumah Lisa untuk membicarakan niatnya pada Ibu Lisa.
            “Apa...!!!” Ibu Lisa kagetnya bukan main, setelah mendengar maksud Mona.
            “Iya tante, keputusanku sudah bulat. Aku ingin berkorban untuk sahabatku meskipun nyawa taruhannya,” jelasnya.
            “Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, tante hanya bisa mendo’akan yang terbaik saja. Tapi, bagaimana dengan orang tuamu Mon.”
            “Kalau itu sih.. sudah tante. Awalnya sih mereka gak setuju, tapi setelah aku menjelaskan, mereka setuju.”
            “Terus... kapan kamu siap Mon??” tanya Ibu Lisa.
            “Besok tante, aku sudah mempersiapkan semua. Besok kita tinggal bertemu di rumah sakit. Tapi.. tante jangan bilang kalau aku yang menjadi pendonornya.”
            Pagi pun tiba, Mona bergegas pergi ke rumah sakit dengan diantar orang tuanya. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, Mona mengalami ketegangan yang luar biasa.
Setelah 8 jam lamanya, operasipun selesai. Dokter keluar dari ruang operasi.
            “Gimana dok operasinya...” tanya Ibu Lisa.
            “Operasinya lancar, tapi...”
            “Tapi kenapa dok...” dengan perasaan yang takut Ibu Lisa bertanya.
            “Salah satu dari mereka ada yang tidak selamat, yaitu Mona.”
            “Apa...!!!” dengan kagetnya orang tua Mona mendengar kabar tersebut.
            Setelah dua hari tidur dari pengaruh obat bius, akhirnya Lisa sadar.
            “Bu...” rengek Lisa.
            “Iya, kamu sudah sadar, kamu minta apa??” tanya Ibu Lisa.
            “Mona mana Bu, dan sebenarnya siapa yang menjadi pendonor butku.”
            “Mona sekarang sudah senang dan tenang di sana Lis...”
            “Maksudnya apa Bu...” tanya Lisa.
            “sebenarnya yang menjadi pendonormu itu Mona Lis dan sekarang dia sudah di alam sana,” dengan meneteskan air mata Ibu Lisa menceritakan.
            “Apa... Bu, kenapa dia lakukan itu...” dengan kaget dan menangis Lisa menanyakan.
            “Karena ia sangat menyanyangimu Lis,” jawab singkat Ibu Lisa.
            3 hari kemudian, Lisa sudah bisa keluar dari rumah sakit. Ia berkunjung ke makam sahabtanya.
            “Meskipun kamu tidak bisa bersamaku, tetapi engkau selalu di hatiku karena salah satu organ tubuhmu ada bersamaku,” ucap Lisa di depan makam Mona.
            Sekarang Lisa hidup normal seperti biasa dengan ginjal yang diberikan oleh sahabatnya Mona, dan sekarang ia lebih sering berkunjung ke makam sahabatnya.

No comments:

Post a Comment