Saturday, December 7, 2013

KETIKA JANTUNG BERDETAK



KETIKA JANTUNG BERDETAK
(KEKUATAN CINTA)

Serentak dengan tenggelamnya mentari bumi gelap, lampu-lampu bintang mulai bercahaya, menghiasi indahnya jagad raya. Di sudut pantai terdengar helaan nafas bisikan suara mulai terdengar dan terlihat keluarga bahagia dan rukun….
“Labibah, mau jadi apa….?”
“Ingin jadi pengusaha warung makan yang sukses Bapak….?”
“Ohw, kalau Habibah….?”
“Habibah ingin jadi hafidzah....”
“Apa kamu ingin jadi hafidzah….?” Ceplos Labibah kaget
“Kenapa….? Salah….!! Tidak apa-apakan Bapak kalau Habibah ingin jadi hafidzah….?”
“Impian putri-putri Bapak tidak ada yang salah….”
            Seirama dengan terjangan ombak yang menghembus bibir pantai, sayup-sayup angin menerjang gubuk yang berdiri gagah menghadap keindahan alam. Nasi secukupnya, sayur seadanya dan lauk ala kadarnya mereka saling santap menyantap makanan yang berada digenggaman mereka.
            Di hari pagi yang cerah, secerah kicauan burung yang berlari-lari di atas langit, mimpi yang dulu hanya sebuah mimpi kini benar-benar di depan mata.
“Tuhan, apakah ini mimpiku menjadi seorang hafidzah tanpa Labibah….” Eluhan hati Habibah yang memandangi saudaranya. Ban mobil terus menggelinding dari kejauhan suara gadis bercampur dengan desahan ombak.
“Habibah jaga dirimu….!!!” Senyuman manis dan lambaian tangan memisahkan mereka. Si kembar yang identik bersama harus terpisah oleh jarak dan tempat, namun kenyataan menguatkan mereka untuk berpisah.
            Tahun-tahun berjalan dengan cepat tak pernah sesekali Habibah mengobati rasa rindunya pada saudaranya, rasa rindu itu terus bersemayam dalam hatinya. Angin berhembus kencang, petir saling sambar menyambar suara gemuruh mulai bersahut-sahutan rasa kuatir yang besar dirasakan Labibah dan Ibunya karena Bapaknya yang tak kunjung pulang dari melaut. Di tempat yang lain tiba-tiba Habibah merasa Bapaknya dating dan berpesan, “Ibah, teruskan al-Qur’an mu nak, tak usah peduli apa yang kamu hadapi nanti….”
Di ruang kecil di selatan pesantren Habibah merasakan kegelisahan
“Ya Allah ada apa ini kenapa sulit sekali menghafal ayat-ayat-Mu….?!!”
“Assalamu’alaikum, mbak Ibah ada yang nyari….!!!”
Wa’alaikum salam, siapa Nis….?”
“Ndak tahu, katanya Saudara mbak….”
Habibah melangkah dengan pasti
“Bibah….”
“Iba…., kita pulang ya….”
“Pulang….? Ada apa….?”
“Sudah kamu siap-siap dulu sana….”
            Dari kejauhan Ibah merasa ada sesuatu yang mengganjal dari dalam rumahnya. Alunan ayat suci al-Qur’an terdengar lantang dan jelas sampai di depan muka halaman Ibah memegang erat tangan Bibah
“Mengapa mereka mengerumuni rumah kita Bibah…? Ada apa…?”
Belum sempat Labibah menjawab, Habibah sudah melepaskan genggamannya saat Ia berada di bibir pintu Ia tertegun melihat sekujur tubuh kaku yang dibalut kain putih. Pelan-pelan Ia mendekat, Habibah pun berseru “Bapak....” Labibah memeluk erat tubuh Habibah yang meronta-ronta. Ayat-ayat suci al-Qur’an yang tadi berhenti kini dikumandangkan kembali.
            Laju angin mendera kerudung yang berkibar-kibar, senduan mata menatap laut yang gelap tanpa cahaya, dua pasang mata dipertemukan
“Besuk kamu harus kembali Ibah…” uraian kata Labibah
“Aku tidak mungkin kembali tanpa kamu…”
“Kembalilah, aku janji kelak aku akan dating menemuimu…”
“Janji…”
Anggukan Labibah membuat Habibah tenang, berpelukan dengan air mata yang menetes di bahu-bahu yang dipertemukan.
Keberangkatan Habibah seakan menusuk relung batin Labibah yang dalam
“Ya Allah, apa kami memang diitakdirkan untuk tidak bersama…”
            Tak henti-hentinya Habibah menunggu kapan Labibah pergi menyusulnya. Sebuah insiden dahsyat yang menggetarkan jiwa, mata terpejam, segenggam tangan dipeluk erat-erat seakan-akan tidak akan pernah dilepaskan.
“Mbak Ibah, nanti matanya dibuka pelan-pelan ya…” seru doctor Ilham hanya terdiam dan menunggu apa yang telah terjadi apadanya, dalam hatinya mengapa Ia harus hati-hati membuka matanya. Ternyata yang terjadi…
“Dokter gelap…” tetesan air mata, pelukan erat seakan membuat Habibah tak mampu menjerit maupun meraung.
Di depan Labibah dan Ibunya Ia tak pernah mengeluh. Justru Ia lah pemompa semangat namun hatinya remuk, dia mencoba mengingat kembali ayat-ayat al-Qur’an tapi semua seakan percuma. Saat Habibah merasa rumahnya sepi, Ia mengeluarkan segala apa yang Ia tahan selama ini.
“Ya Allah apa aku harus ditakdirkan untuk buta, buta selamanya…?!!”
Nada keras mengisi tiap-tiap sudut rumah. Labibah yang hanya terdiam merengkuh Habibah dan memeluk Habibah dalam pelukan air mata di sepanjang pesisir pantai Habibah hanya terdiam dalam kesenduhan.
“Ibah, kamu ingat nggak saat kita masih kecil…?!! Kita sering berlari-lari di sini. Lihat ada bintang laut Ibah…”
“Aku tak bias lihat Bibah…” potong Habibah cepat
Serentak Habibah terdiam,
“Oh ya, kalau gitu coba pegang…”
“Tidak aku tidak mau pegang, aku tidak bias melihat Bibah aku tidak bias melihat…”
Rengkuhan erat Labibah membuat Habibah berhenti meraung dalam bisikan
“Aku takut, aku takut tidak bias melanjutkan hafalanku lagi Bibah…”
Semakin dalam kesedihan yang mengguyur di antara mereka…
Kebersamaan, perpisahan dan cobaan membuat mereka tegar.
“Bibah engkau di mana…?!!”
“Aku di sini Ibah…” juluran tangan Labibah menunjukkan jalan untuk Habibah.
Di tengah percakapan mereka Labibah terus terbatuk-batuk, akhirnya Ia pun mengeluarkan darah.
“Ya Allah, apa ini…?”
“Kamu kenapa Bibah…?”
“Tidak aku tidak kenapa-kenapa, kamu pasti kedinginan sini aku peluk…”
“Ibah kamu mau penuhi permintaanku…?”
“Apa…?”
“Lanjutkan hafalanmu…”
“Bagaimana mungkin Bibah, aku buta untuk membaca al-Qur’an saja aku tidak bias apalagi sampai menghafal…”
Hanya senyuman yang mengembang di bibirnya.
            Waktu demi waktu mereka lalui bersama namun penyakit itu semakin merajalela di tubuh Labibah.
“Dok apa penyakitku bias sembuh…?”
“Kemungkinan sembuh itu minim mbak, karena paru-paru mbak sudah mendekati stadium akhir.
Terdiam lalu…
“Dok bila nanti aku tak terselamatkan tolong berikan bola mataku kepada Habibah dan tolong jual kedua ginjalku untuk biaya operasinya…”
“Apa kamu yakin…”
“Iya dok saya yakin…”
“Kalau begitu besok Anda kesini untuk menandatangani surat perjanjian”
Dikesempatan lain…
“Habibah berjanjilah bila nanti kamu bias melihat lanjutkan hafalanmu…”
Hanya senyuman yang mengembang di bibir merah Habibah.
            Di saat Labibah terjatuh, di saat Habibah di operasi… kesedihan melanda keluarga maryam namun kebahagiaan pun menunggu mereka. Di saat Habibah membuka mata terbebas dari kegelapan yang mencengkramnya selama ini. Ia mencari sosok Labibah yang dirindukannya namun apalah daya gadis yang dirindukannya itu telah menyatu dengan tanah dengan pertanda batu nisan sebagai pengenalnya. Air mata tak henti-henti mengalir…
Perjalanan waktu mengobati luka laranya menemukan kebahagiaannya menghatamkan al-Qur’an, menikah dengan orang yang terpandang ilmu agamanya melahirkan sosok bayi kembar yang diberi nama Syafa dan Sofa
“Labibah aku telah penuhi janjiku, berjanjilah untuk menemuiku di surga…”




By.   Ni’matus Shoimah
         XI AP



No comments:

Post a Comment