|
(KEKUATAN
CINTA)
Serentak dengan
tenggelamnya
mentari bumi gelap, lampu-lampu bintang mulai bercahaya, menghiasi indahnya
jagad raya. Di sudut pantai terdengar helaan nafas bisikan suara mulai
terdengar dan terlihat keluarga bahagia dan rukun….
“Labibah,
mau jadi apa….?”
“Ingin jadi
pengusaha warung makan yang sukses Bapak….?”
“Ohw, kalau
Habibah….?”
“Habibah
ingin jadi hafidzah....”
“Apa kamu
ingin jadi hafidzah….?” Ceplos Labibah kaget
“Kenapa….?
Salah….!! Tidak apa-apakan Bapak kalau Habibah ingin jadi hafidzah….?”
“Impian
putri-putri Bapak tidak ada yang salah….”
Seirama dengan terjangan ombak yang
menghembus bibir pantai, sayup-sayup angin menerjang gubuk yang berdiri gagah
menghadap keindahan alam. Nasi secukupnya, sayur seadanya dan lauk ala kadarnya
mereka saling santap menyantap makanan yang berada digenggaman mereka.
Di hari pagi yang cerah, secerah
kicauan burung yang berlari-lari di atas langit, mimpi yang dulu hanya sebuah
mimpi kini benar-benar di depan mata.
“Tuhan,
apakah ini mimpiku menjadi seorang hafidzah tanpa Labibah….” Eluhan hati
Habibah yang memandangi saudaranya. Ban mobil terus menggelinding dari kejauhan
suara gadis bercampur dengan desahan ombak.
“Habibah
jaga dirimu….!!!” Senyuman manis dan lambaian tangan memisahkan mereka. Si
kembar yang identik bersama harus terpisah oleh jarak dan tempat, namun
kenyataan menguatkan mereka untuk berpisah.
Tahun-tahun berjalan dengan cepat
tak pernah sesekali Habibah mengobati rasa rindunya pada saudaranya, rasa rindu
itu terus bersemayam dalam hatinya. Angin berhembus kencang, petir saling
sambar menyambar suara gemuruh mulai bersahut-sahutan rasa kuatir yang besar
dirasakan Labibah dan Ibunya karena Bapaknya yang tak kunjung pulang dari
melaut. Di tempat yang lain tiba-tiba Habibah merasa Bapaknya dating dan
berpesan, “Ibah, teruskan al-Qur’an mu nak, tak usah peduli apa yang kamu
hadapi nanti….”
Di ruang
kecil di selatan pesantren Habibah merasakan kegelisahan
“Ya Allah
ada apa ini kenapa sulit sekali menghafal ayat-ayat-Mu….?!!”
“Assalamu’alaikum,
mbak Ibah ada yang nyari….!!!”
Wa’alaikum
salam, siapa Nis….?”
“Ndak tahu,
katanya Saudara mbak….”
Habibah
melangkah dengan pasti
“Bibah….”
“Iba…., kita
pulang ya….”
“Pulang….?
Ada apa….?”
“Sudah kamu siap-siap
dulu sana….”
Dari kejauhan Ibah merasa ada
sesuatu yang mengganjal dari dalam rumahnya. Alunan ayat suci al-Qur’an
terdengar lantang dan jelas sampai di depan muka halaman Ibah memegang erat
tangan Bibah
“Mengapa
mereka mengerumuni rumah kita Bibah…? Ada apa…?”
Belum sempat
Labibah menjawab, Habibah sudah melepaskan genggamannya saat Ia berada di bibir
pintu Ia tertegun melihat sekujur tubuh kaku yang dibalut kain putih.
Pelan-pelan Ia mendekat, Habibah pun berseru “Bapak....” Labibah memeluk erat
tubuh Habibah yang meronta-ronta. Ayat-ayat suci al-Qur’an yang tadi berhenti
kini dikumandangkan kembali.
Laju angin mendera kerudung yang
berkibar-kibar, senduan mata menatap laut yang gelap tanpa cahaya, dua pasang
mata dipertemukan
“Besuk kamu
harus kembali Ibah…” uraian kata Labibah
“Aku tidak
mungkin kembali tanpa kamu…”
“Kembalilah,
aku janji kelak aku akan dating menemuimu…”
“Janji…”
Anggukan
Labibah membuat Habibah tenang, berpelukan dengan air mata yang menetes di
bahu-bahu yang dipertemukan.
Keberangkatan
Habibah seakan menusuk relung batin Labibah yang dalam
“Ya Allah,
apa kami memang diitakdirkan untuk tidak bersama…”
Tak henti-hentinya Habibah menunggu
kapan Labibah pergi menyusulnya. Sebuah insiden dahsyat yang menggetarkan jiwa,
mata terpejam, segenggam tangan dipeluk erat-erat seakan-akan tidak akan pernah
dilepaskan.
“Mbak Ibah,
nanti matanya dibuka pelan-pelan ya…” seru doctor Ilham hanya terdiam dan
menunggu apa yang telah terjadi apadanya, dalam hatinya mengapa Ia harus
hati-hati membuka matanya. Ternyata yang terjadi…
“Dokter
gelap…” tetesan air mata, pelukan erat seakan membuat Habibah tak mampu
menjerit maupun meraung.
Di depan Labibah dan Ibunya Ia tak pernah mengeluh.
Justru Ia lah pemompa semangat namun hatinya remuk, dia mencoba mengingat
kembali ayat-ayat al-Qur’an tapi semua seakan percuma. Saat Habibah merasa
rumahnya sepi, Ia mengeluarkan segala apa yang Ia tahan selama ini.
“Ya Allah
apa aku harus ditakdirkan untuk buta, buta selamanya…?!!”
Nada keras
mengisi tiap-tiap sudut rumah. Labibah yang hanya terdiam merengkuh Habibah dan
memeluk Habibah dalam pelukan air mata di sepanjang pesisir pantai Habibah
hanya terdiam dalam kesenduhan.
“Ibah, kamu
ingat nggak saat kita masih kecil…?!! Kita sering berlari-lari di sini. Lihat
ada bintang laut Ibah…”
“Aku tak
bias lihat Bibah…” potong Habibah cepat
Serentak
Habibah terdiam,
“Oh ya,
kalau gitu coba pegang…”
“Tidak aku
tidak mau pegang, aku tidak bias melihat Bibah aku tidak bias melihat…”
Rengkuhan
erat Labibah membuat Habibah berhenti meraung dalam bisikan
“Aku takut,
aku takut tidak bias melanjutkan hafalanku lagi Bibah…”
Semakin
dalam kesedihan yang mengguyur di antara mereka…
Kebersamaan,
perpisahan dan cobaan membuat mereka tegar.
“Bibah
engkau di mana…?!!”
“Aku di sini
Ibah…” juluran tangan Labibah menunjukkan jalan untuk Habibah.
Di tengah
percakapan mereka Labibah terus terbatuk-batuk, akhirnya Ia pun mengeluarkan
darah.
“Ya Allah,
apa ini…?”
“Kamu kenapa
Bibah…?”
“Tidak aku
tidak kenapa-kenapa, kamu pasti kedinginan sini aku peluk…”
“Ibah kamu
mau penuhi permintaanku…?”
“Apa…?”
“Lanjutkan
hafalanmu…”
“Bagaimana
mungkin Bibah, aku buta untuk membaca al-Qur’an saja aku tidak bias apalagi
sampai menghafal…”
Hanya
senyuman yang mengembang di bibirnya.
Waktu demi waktu mereka lalui
bersama namun penyakit itu semakin merajalela di tubuh Labibah.
“Dok apa
penyakitku bias sembuh…?”
“Kemungkinan
sembuh itu minim mbak, karena paru-paru mbak sudah mendekati stadium akhir.
Terdiam
lalu…
“Dok bila
nanti aku tak terselamatkan tolong berikan bola mataku kepada Habibah dan
tolong jual kedua ginjalku untuk biaya operasinya…”
“Apa kamu
yakin…”
“Iya dok
saya yakin…”
“Kalau
begitu besok Anda kesini untuk menandatangani surat perjanjian”
Dikesempatan
lain…
“Habibah
berjanjilah bila nanti kamu bias melihat lanjutkan hafalanmu…”
Hanya
senyuman yang mengembang di bibir merah Habibah.
Di saat Labibah terjatuh, di saat
Habibah di operasi… kesedihan melanda keluarga maryam namun kebahagiaan pun
menunggu mereka. Di saat Habibah membuka mata terbebas dari kegelapan yang
mencengkramnya selama ini. Ia mencari sosok Labibah yang dirindukannya namun
apalah daya gadis yang dirindukannya itu telah menyatu dengan tanah dengan
pertanda batu nisan sebagai pengenalnya. Air mata tak henti-henti mengalir…
Perjalanan
waktu mengobati luka laranya menemukan kebahagiaannya menghatamkan al-Qur’an,
menikah dengan orang yang terpandang ilmu agamanya melahirkan sosok bayi kembar
yang diberi nama Syafa dan Sofa
“Labibah aku
telah penuhi janjiku, berjanjilah untuk menemuiku di surga…”
By. Ni’matus Shoimah
XI AP
No comments:
Post a Comment