Saturday, December 7, 2013

IMPIAN SEORANG GADIS



IMPIAN SEORANG GADIS

Saat heningnya malam yang sepi dan dinginnya embun yang menghantam bumi, sang dewi malam tengah bertengger di lubung awan. Gadis kecil mungil yang bernama “Aisya Chusnul Ramadhani” yang biasa dipanggil Ais itu sedang berdiri tegak dengan mengenakan mukenanya yang berjenis perusut. Ais sedang melaksanakan sholat malam, Ia sering bangun tengah malam untuk melaksanakan sholat. Sehabis sholat Ais terus saja melantunkan do’a dari balik punggung tangannya yang basah oleh butiran air mata. Ais mempunyai keluarga yang sederhana, Ia anak yang rajin dan juga cerdas, Ais bercita-cita ingin menjadi seorang penulis yang hebat seperti “Habibur Rahman”. Saat pagi sudah menjemput Ais berjalan menelusuri trotoar yang cukup lebar dengan ditemani ayahnya untuk menjual gorengan keliling. Sambil berjalan Ais bercerita pada ayahnya, “Ayah... Ais bercita-cita ingin menjadi seorang penulis yang hebat seperti Habibur Rahman.”
Dengan alis bertaut dan memasang mimik muka yang serius, Ayah Ais memandanginya, menempelkan tangannya dipunggung Ais dan sambil mengusap-ngusap ke badan Ais, “Ais... ayah senang kamu mempunyai cita-cita, tapi ayah kurang setuju dengan cita-citamu ini, apa tidak ada yang lain...?!!”
“Kenapa yah... jadi penulis kan hebat, mengeluarkan imajinasi kita untuk dibaca oleh semua orang...”
Ayah tidak merespon omongan Ais dan pergi meninggalkan Ais sendirian. Sementara Ais yang ditinggal pergi, tidak menyusul malah ngomong sendiri... nerocosss sambil mengitari trotoar. Sesudah berjualan Ais dan ayahnya pulang untuk membersihkan badan dan melaksanakan aktivitas selanjutnya.
Jam menunjukkan pukul 03.30 pagi. Seperti biasa Ais bangun dari tidurnya untuk melaksanakan aiyamullail. Ais melanjutkan do’a-do’anya, meminta kepada Yang Kuasa supaya diberi rizqi, sehat, dan cita-cita yang diinginkan terkabul. Saat jam 06.00 pagi, Ais bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat Ais membantu ibunya menyiapkan gorengan yang akan dijual. Tiba di gerbang sekolah, Ais terkejut mendengar namanya dipanggil-panggil. Ternyata mereka adalah sahabat-sahabat Aisyah yang baik, mereka adalah Salwa dan Rina. Ais beruntung memiliki sahabat-sahabat seperti mereka, bukan cuma baik pada Ais tapi mereka juga pintar dan cerdas.
Ais selalu berfikir, kenapa ayahnya tidak menyukai cita-citanya. Kalau Ais benar-benar jadi penulis, bagaimana reaksi ayah... apa ayah akan memarahi Ais ataukah... entahlah. Tak lama Ais bersama kedua sahabatnya melewati koridor kelas, mereka bertiga masuk kelas. Tiba di kelas Ais bertanya kepada kedua sahabatnya, terutama kepada Salwa.
“Setelah lulus nanti, kamu mau ke mana, meneruskan kuliah atau bekerja.”
“Kalau aku sich... ingin jadi sekretaris perusahaan, kalau kamu Rin.”
Pertanyaan itu di lemparkan ke wajah Rina. Sedangkan Rina tertunduk diam, “Em... emm... aku ingin bekerja saja... mencari nafkah, mengganti ayahku”
Dengan serempak Ais dan Salwa menjawab, “Ohw... so sweet...”
Saat bunyi bel pulang, semua murid membereskan buku-bukunya, tidak ketinggalan Ais dan kedua sahabatnya. Mengikuti murid yang lain keluar dari ruang kelas, mereka bertiga menelusuri koridor-koridor kelas menuju mading sekolah untuk melihat pengumuman hari ini. Sampai di depan mading Ais dan kedua sahabatnya terkejut melihat pengumuman yang ditempel.
“Cepet bener ya ujiannya... kayaknya baru kemaren try out ketiga.” Suara Salwa dengan nada yang tak percaya.
Ternyata pengumuman itu adalah pengumuman mengenai ujian yang tidak lama lagi. Ais terbayang-bayang menjadi seorang penulis yang hebat dan banyak dikagumi oleh orang lain. Sampai di rumah Ais membersihkan diri untuk sholat ashar, di samping itu kedua kakaknya ada yang mengerjakan skripsi dan juga ada yang mengaji. Memang keluarga Ais adalah keluarga yang sederhana, ekonomi pun tidak bisa membuat Ais dan kakaknya sekolah sampai ke perguruan tinggi. Cindy dan Karen, mereka adalah kakak-kakak Ais yang baik dan cantik, Ais selalu berbagi curhat dengan mereka begitupun sebaliknya.
Saat-saat yang dinantikan semua anak kelas XII itupun akhirnya terlewatkan. Ujian telah berakhir, kini tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Semua siswa kelas XII berperasaan panas dingin, begitu mendengar pengumuman lulus 100% mereka berbangga hati, sementara dengan Ais dikejutkan oleh ketidakpercayaan bahwa Ais mendapat ranking 1.
“Alhamdulillah... terima kasih ya Allah, engkau telah memberi yang terbaik buat Ais dan semua orang.” Kata Ais dalam hati.
Ais pulang dengan hati bahagia... sesampai di rumah Ais memberikan nilai akhir ujiannya kepada semua orang yang ada di rumah.
“Hebat Ais... kamu bisa mendapatkan nilai yang memuaskan, kamu memang adikku yang paling hebat, itu membuat kita semua bangga padamu.” Ucap Cindy kakak pertama Ais.
Ibu memeluk Ais, menangis karena terharu dan bertanya pada Ais, “Kamu memang anak yang rajin, tapi apa kamu mau melanjutkan kuliah seperti kakakmu.”
“Tidak Bu, Ais bercita-cita ingin menjadi seorang penulis, apa Ibu mengijinkan Ais.”
Ucapan Ais membuat hati Ibu kagum, “Kenapa tidak, itukan cita-cita kamu, bukan cita-cita Ibu, Ibu hanya bisa mendo’akanmu untuk yang terbaik.”
Ais senang mendengar ucapan Ibunya barusan, tapi... apakah Ayahnya merestuinya.
“Tapi Bu... Ayah tidak mengijinkan Ais menjadi seorang penulis.”
“Kenapa Ayah tidak mengijinkan... tidak biasa Ayah begitu padamu, mungkin Ayah kecapean.”
Ayah mendengar ucapan Ibunya, dan langsung menyusul mereka, Ibu langsung berbicara pada Ayah tanpa menunggu Ayah duduk.
“Ayah... kenapa Ayah tidak mengijinkan cita-cita Ais.”
“Ya... karena Ayah tidak suka.”
“Jangan begitu Ayah, dukunglah cita-cita anakmu, besok kalau mereka semua sukses dengan cita-citanya, siapa yang senang, Ayah juga kan... bukan mereka saja Yah.”
Ayah terdiam berfikir mengolah ucapan Ibu tadi, dan sedangkan Ais hanya tertunduk tidak berani melihat wajah ayahnya yang ganteng. Tanpa pikir panjang Ayah langsung memeluk Ais, “Maafkan Ayah ya nak...!! sekarang kejarlah cita-citamu, raihlah sampai kamu dapat.”
Suara Ayah dengan nada agak tinggi. Ais dan Ibunya senang mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ayah.
“Ayah serius... Ais tidak mimpi kan...”
“Tidak sayang... maafkan ayah.”
Akhirnya Ayah Ais mengijinkannya untuk jadi seorang penulis, itu membuat Ais bangga dan sekarang menjadi penulis terkenal dengan buku yang ia karang dengan judul “Ning Ais.”

SEKIAN...

Nb. Jangan memasukkan kesedihan di hari esok ke dalam hari ini. Bila kamu mencemaskan hari esok itu akan menambah kesedihan.

By. Pipit Hidayatun N.

No comments:

Post a Comment