Saat
heningnya malam yang sepi dan dinginnya embun yang menghantam bumi, sang dewi
malam tengah bertengger di lubung awan. Gadis kecil mungil yang bernama “Aisya
Chusnul Ramadhani” yang biasa dipanggil Ais itu sedang berdiri tegak dengan
mengenakan mukenanya yang berjenis perusut. Ais sedang melaksanakan sholat
malam, Ia sering bangun tengah malam untuk melaksanakan sholat. Sehabis sholat
Ais terus saja melantunkan do’a dari balik punggung tangannya yang basah oleh
butiran air mata. Ais mempunyai keluarga yang sederhana, Ia anak yang rajin dan
juga cerdas, Ais bercita-cita ingin menjadi seorang penulis yang hebat seperti
“Habibur Rahman”. Saat pagi sudah menjemput Ais berjalan menelusuri trotoar
yang cukup lebar dengan ditemani ayahnya untuk menjual gorengan keliling.
Sambil berjalan Ais bercerita pada ayahnya, “Ayah... Ais bercita-cita ingin
menjadi seorang penulis yang hebat seperti Habibur Rahman.”
Dengan
alis bertaut dan memasang mimik muka yang serius, Ayah Ais memandanginya,
menempelkan tangannya dipunggung Ais dan sambil mengusap-ngusap ke badan Ais, “Ais...
ayah senang kamu mempunyai cita-cita, tapi ayah kurang setuju dengan
cita-citamu ini, apa tidak ada yang lain...?!!”
“Kenapa
yah... jadi penulis kan hebat, mengeluarkan imajinasi kita untuk dibaca oleh
semua orang...”
Ayah
tidak merespon omongan Ais dan pergi meninggalkan Ais sendirian. Sementara Ais
yang ditinggal pergi, tidak menyusul malah ngomong sendiri... nerocosss sambil
mengitari trotoar. Sesudah berjualan Ais dan ayahnya pulang untuk membersihkan
badan dan melaksanakan aktivitas selanjutnya.
Jam
menunjukkan pukul 03.30 pagi. Seperti biasa Ais bangun dari tidurnya untuk
melaksanakan aiyamullail. Ais melanjutkan do’a-do’anya, meminta kepada
Yang Kuasa supaya diberi rizqi, sehat, dan cita-cita yang diinginkan terkabul.
Saat jam 06.00 pagi, Ais bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Sebelum
berangkat Ais membantu ibunya menyiapkan gorengan yang akan dijual. Tiba di
gerbang sekolah, Ais terkejut mendengar namanya dipanggil-panggil. Ternyata mereka
adalah sahabat-sahabat Aisyah yang baik, mereka adalah Salwa dan Rina. Ais
beruntung memiliki sahabat-sahabat seperti mereka, bukan cuma baik pada Ais
tapi mereka juga pintar dan cerdas.
Ais
selalu berfikir, kenapa ayahnya tidak menyukai cita-citanya. Kalau Ais
benar-benar jadi penulis, bagaimana reaksi ayah... apa ayah akan memarahi Ais
ataukah... entahlah. Tak lama Ais bersama kedua sahabatnya melewati koridor
kelas, mereka bertiga masuk kelas. Tiba di kelas Ais bertanya kepada kedua
sahabatnya, terutama kepada Salwa.
“Setelah
lulus nanti, kamu mau ke mana, meneruskan kuliah atau bekerja.”
“Kalau
aku sich... ingin jadi sekretaris perusahaan, kalau kamu Rin.”
Pertanyaan
itu di lemparkan ke wajah Rina. Sedangkan Rina tertunduk diam, “Em... emm...
aku ingin bekerja saja... mencari nafkah, mengganti ayahku”
Dengan
serempak Ais dan Salwa menjawab, “Ohw... so sweet...”
Saat
bunyi bel pulang, semua murid membereskan buku-bukunya, tidak ketinggalan Ais
dan kedua sahabatnya. Mengikuti murid yang lain keluar dari ruang kelas, mereka
bertiga menelusuri koridor-koridor kelas menuju mading sekolah untuk melihat
pengumuman hari ini. Sampai di depan mading Ais dan kedua sahabatnya terkejut
melihat pengumuman yang ditempel.
“Cepet
bener ya ujiannya... kayaknya baru kemaren try out ketiga.” Suara Salwa
dengan nada yang tak percaya.
Ternyata
pengumuman itu adalah pengumuman mengenai ujian yang tidak lama lagi. Ais
terbayang-bayang menjadi seorang penulis yang hebat dan banyak dikagumi oleh
orang lain. Sampai di rumah Ais membersihkan diri untuk sholat ashar, di
samping itu kedua kakaknya ada yang mengerjakan skripsi dan juga ada yang
mengaji. Memang keluarga Ais adalah keluarga yang sederhana, ekonomi pun tidak
bisa membuat Ais dan kakaknya sekolah sampai ke perguruan tinggi. Cindy dan
Karen, mereka adalah kakak-kakak Ais yang baik dan cantik, Ais selalu berbagi
curhat dengan mereka begitupun sebaliknya.
Saat-saat
yang dinantikan semua anak kelas XII itupun akhirnya terlewatkan. Ujian telah
berakhir, kini tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Semua siswa kelas XII
berperasaan panas dingin, begitu mendengar pengumuman lulus 100% mereka
berbangga hati, sementara dengan Ais dikejutkan oleh ketidakpercayaan bahwa Ais
mendapat ranking 1.
“Alhamdulillah...
terima kasih ya Allah, engkau telah memberi yang terbaik buat Ais dan semua
orang.” Kata Ais dalam hati.
Ais
pulang dengan hati bahagia... sesampai di rumah Ais memberikan nilai akhir
ujiannya kepada semua orang yang ada di rumah.
“Hebat
Ais... kamu bisa mendapatkan nilai yang memuaskan, kamu memang adikku yang
paling hebat, itu membuat kita semua bangga padamu.” Ucap Cindy kakak pertama
Ais.
Ibu
memeluk Ais, menangis karena terharu dan bertanya pada Ais, “Kamu memang anak
yang rajin, tapi apa kamu mau melanjutkan kuliah seperti kakakmu.”
“Tidak
Bu, Ais bercita-cita ingin menjadi seorang penulis, apa Ibu mengijinkan Ais.”
Ucapan
Ais membuat hati Ibu kagum, “Kenapa tidak, itukan cita-cita kamu, bukan
cita-cita Ibu, Ibu hanya bisa mendo’akanmu untuk yang terbaik.”
Ais
senang mendengar ucapan Ibunya barusan, tapi... apakah Ayahnya merestuinya.
“Tapi
Bu... Ayah tidak mengijinkan Ais menjadi seorang penulis.”
“Kenapa
Ayah tidak mengijinkan... tidak biasa Ayah begitu padamu, mungkin Ayah
kecapean.”
Ayah
mendengar ucapan Ibunya, dan langsung menyusul mereka, Ibu langsung berbicara
pada Ayah tanpa menunggu Ayah duduk.
“Ayah...
kenapa Ayah tidak mengijinkan cita-cita Ais.”
“Ya...
karena Ayah tidak suka.”
“Jangan
begitu Ayah, dukunglah cita-cita anakmu, besok kalau mereka semua sukses dengan
cita-citanya, siapa yang senang, Ayah juga kan... bukan mereka saja Yah.”
Ayah
terdiam berfikir mengolah ucapan Ibu tadi, dan sedangkan Ais hanya tertunduk
tidak berani melihat wajah ayahnya yang ganteng. Tanpa pikir panjang Ayah
langsung memeluk Ais, “Maafkan Ayah ya nak...!! sekarang kejarlah cita-citamu,
raihlah sampai kamu dapat.”
Suara
Ayah dengan nada agak tinggi. Ais dan Ibunya senang mendengar kalimat yang
keluar dari mulut Ayah.
“Ayah
serius... Ais tidak mimpi kan...”
“Tidak
sayang... maafkan ayah.”
Akhirnya
Ayah Ais mengijinkannya untuk jadi seorang penulis, itu membuat Ais bangga dan
sekarang menjadi penulis terkenal dengan buku yang ia karang dengan judul “Ning
Ais.”
SEKIAN...
Nb. Jangan
memasukkan kesedihan di hari esok ke dalam hari ini. Bila kamu mencemaskan hari
esok itu akan menambah kesedihan.
By. Pipit
Hidayatun N.
No comments:
Post a Comment