Saturday, December 7, 2013

HOME OLD



HOME OLD

            Di sudut kota hujan, fajar telah menyapa gadis berambut hitam pekat sebahu bermata coklat yang sedang jogging seorang diri. Gadis itu biasa dipanggil Lya. Saat sedang asyik-asyiknya menyusuri kota ia merasa kakinya tidak bisa digerakkan. Spontan ia menoleh kebelakang. Bocak berwajah pucat berambut panjang terurai dan kalung berliontin bintang yang berkilau menggelantung di leher telah berdiri dihadapannya. Matanya tajam sekali menatap. Lya pun menghiraukan bocah tersebut. Ketika ia berjalan kembali ada seekor anjing putih mengikutinya. Kemudian anjing itu pergi meninggalkan ia sendiri. Karena ia pecinta anjing, tanpa pikir panjang langkah kakinya mengikuti anjing tersebut. Namun, bukan anjing yang ia temukan tapi bocah berambut panjang yang sedang duduk dekat tiang rumah tua dengan wajah dibenamkan di lututnya, membentuk bola kecil yang sedang mengenaskan. Lya tidak mengatakan apa-apa pada bocah yang sedang mengisak itu, ia hanya mengelus rambutnya. Wajahnya terangkat sedikit-sedikit dan ia pun tersentak. Ternyata semua itu hanya bunga tidur semata.
***
Hari yang cerah, kabut yang biasanya mengembara di pucuk-pucuk pohon telah sirna. Sirnanya embun pagi disertai perginya kabut telah membangunkan mereka yang ada di rumah. Sedangkan sinar matahari mulai menyusul diantara sela-sela pepohonan.
            Pagi itu Lya berangkat ke sekolah agak awal, karena ia akan memasang beberapa gambar korban tsunami di Jepang yang ia ambil dari internet untuk ditempelkan di mading. Tak lupa ia membawa gorengan yang masih anget untuk dibagikan ke kawan-kawannya.
            Lya masih mengenakan putih abu-abu dan duduk di kelas XI IPA di SMAN 05 Bogor. Kinara Alya Wijaya adalah putri semata wayang dari keluarga Wijaya yang memiliki beberapa restaurant terkenal di Semarang. Walaupun ia berasal dari keluarga berada tapi ia tetap tak mau diantar supir dengan kendaraan mewah saat ke sekolah, ia lebih senang kalau naik angkot ataupun bis.
            Saat menuju halte bis, terlebih dahulu ia harus melewati rumah tua yang terletak di ujung jalan. Ia selalu merasa diawasi oleh sepasang mata. Entah kenapa saat ia melewati rumah tua itu bulu kudunya selalu berdiri. Itu membuat gadis pemalu tersebut menjadi ketakutan.
            Seketika itu ia pun langsung meneruskan tujuan utamanya melewati rumah tersebut. Saat akan berjalan, dihadapannya sudah ada seorang gadis yang gayanya seperti ‘mbak-mbak’, Cindy namanya. Menurut Lya gaya Cindy seperti selebriti yang sering nongol di TV itu sangat berlawanan dengan dirinnya yang tanpa gincu pewarna bibir dan eyeshadow bak pelangi di mata. Walaupun penampilan Cindy seperti itu tapi di sisi lain dia sangat baik. Mereka sudah bersahabat sejak kecil dan selalu satu sekolah. Rumah mereka pun masih satu komplek.
“lya, kamu ngapain bengong di sini,” Kata Cindy sambil menepuk bahunya.
“Ng... nggak... nggak ngapa-ngapain kok. Maaf ya aku nggak bisa nungguin kamu,” pinta Lya.
“Ya, ndak papa kok. Tadi aku kerumahmu tapi kata Tante kamu sudah berangkat.”
“Iya soalnya aku mau nempelin ini lho,” seru Lya dengan menyodorkan gambar yang dari tadi dipegang.
“Oh... ya sudah berangkat yukk, dah telat nih,” Cindy melihat jam yang melingkar di tangannya.
***
“Lya... Lya kenapa?”
            Suara Cindy menyadarkan Lya akan keberadaan makhluk-makhluk disekelilingnya. Lya menyeka air mata. Mencoba tersenyum semanis mungkin pada Cindy.
“Kamu sedih ya?”
            Lya menarik nafas panjang. Matanya dikerjap-kerjapkan agar terlihat kelilipan. Lalu dengan senyum lebar yang sepenuhnya dipaksakan, Lya merengkuh sahabatnya.
“Aku tidak apa-apa Cindy...”
            Di ujung suaranya tenggelam dalam isak tangis yang tertahan.
“Kamu boleh membohongi semua orang tapi tidak denganku.”
            Akhirnya Lya mengadukan semuanya pada sahabatnya itu.
“Cindy aku takut.”
            Cindy bingung tujuh keliling karena di sekitar mereka tak ada suatu apapun yang membuat Lya ketakutan.
“Aku takut,” Lya mengulangi kalimatnya lagi.
“Takut kenapa sih?”
“Tadi malam aku mimpi Dy, mimpi ketemu anak kecil yang mukanya tuh serem banget dan anak kecil itu sering muncul di rumah tua yang ada di seberang jalan komplek kita itu lho.”
            Suasana menjadi hening sejenak.
“Aku dah mimpi kayak gitu berulang kali.”
            Dengan wajah sok tahu Cindy pun berkata.
“Mungkin anak kecil itu saudara kandungmu yang sudah meninggal.”
“Sotoy kamu Dy, kamu kan tahu kalau aku anak tunggal. Tapi bisa juga sih.”
“Dah ndak usah dipikirin, mimpi itu Cuma bunga tidur,” jawab Cindy dengan nada menyakinkan.
“By the way si Boboho dan Nabila mana? Dari tadi kok ndak kelihatan batang hidungnya, di sms juga ndak di bales.”
“Tuh mereka,” ucap Lya sambil menunjuk ke arah cewek berkacamata dan cowok bertubuh subur.
“Hay guys,” sapa Boby
“Sorry ya Dy tadi aku nggak bisa bales smsmu soalnya ada panggilan alam mendadak, hehe,” seru Nabila sambil nyengir kuda.
“Pantesan baunya sampai sini,” ejek Cindy seraya tertawa yang di ikuti oleh teman-temannya.
            Dengan sepontan bibir Nabila maju 5 cm dan wajah cemberut pun dipamerkannya.
“Dah nggak usah cemberut, sekarang pesan makanan ja yuk,” ajak Boby yang dari tadi cacing di perutnya pada demo.
***
Kesunyian sang penerang malam kini telah menerpa. Walaupun hidangan sudah tersaji di atas meja tapi tak sepatah kata pun keluar dari bibir mereka. Hingga salah satu suara memecah keheningan itu.
“Ma...” kata Lya.
“Ya sayang, ada apa?”
“Sebenarnya Lya punya saudara kandung nggak sih? Kalau punya kenapa Mama dan Papa nggak pernah cerita,” tanya Lya dengan menatap lekat-lekat kedua orang tuanya.
            Seketika itu sepasang suami istri tersebut bertatapan beberapa menit dan mengubah suasana itu seperti semula.
“Kamu dapat anggapan seperti itu dari mana Lya?” tanya Papa.
“Dari Cindy Pa,” jawab Lya dengan polosnya.
“Dah kamu nggak usah percaya omongan temen-temenmu, mungkin Cindy lagi jailin kamu.” Sambung Mama, “Inget kata Mama ya sayang, kamu itu anak tunggal Mama dan Papa.”
            Beberapa hari setelah kejadian itu, ia tak pernah mengungkitnya lagi dan menghiraukan perkataan Cindy yang kemarin. Hingga suatu ketika peristiwa yang tak pernah terbesitpun terjadi.
“Pagi Mama,” sapa Lya sambil mencium Pipi mamanya.
“Pagi juga sayang, lho kok sudah pulang?”
“Ya Ma, soalnya ada rapat guru jadi pulang pagi deh,” jelas Lya.
“Oh... sayang tolong ambilin gunting mama di laci kamar ya,” suruh mama yang sedang menyulam.
Setibanya di kamar mama, Lya membuka semua laci yang ada dan ketika ia membuka laci dalam sebuah almari, ia terkejut karena bukan gunting yang ia dapat tapi malah selembar foto yang asing baginya.
“Cewek ini siapa ya? Kok foto sama Mama dan Papa,” bisiknya dalam hati. Tanpa pikir panjang ia segera menemui mamanya yang ada di ruang keluarga.
“Ma, cewek dalam foto ini siapa ya?” tanya Lya ingin tahu.
            Dengan berkaca-kaca mamanya pun terpaksa memutar memori yang sebenarnya tak ingin dibuka kembali. Sebuah tragedi yang menyanyat hati saat seorang Ibu harus kehilangan putri yang ia kasihi.
“Sebenarnya kamu punya kakak perempuan, namanya Leony. Tapi sampai sekarang kakakmu tak tahu di mana, mama juga nggak tahu apa sekarang dia masih hidup atau sudah meninggal.”
            Keesokan harinya saat Lya berjalan di koridor sekolah bersama Cindy. Ia menceritakan sesuatu yang membuat Cindy menganga.
“Masa’ kamu punya mbak to Lya,” kata Cindy dengan bahasa medoknya.
“Beneran tapi sekarang...” ucap Lya yang tiba-tiba berhenti karena sebuah tangan menepuk pundaknya.
“Dipanggil-panggil pada nggak denger, emangnya ngomong apa sih?” tanya Boby.
“Lho kamu tadi panggil kita Bob,” jawab Lya.
“He’em tapi pada nggak denger, by the way tadi kalian ngomongin apa sih? Kok serius banget,” ujar Boby.
“Istirahat ntar aku cerita’in, lagian tadi Cindy juga baru sedikit kok dengerinnya. Jangan lupa ngajak Nabila,” kata Lya panjang lebar.
“Hari ini Bila nggak berangkat, katanya sih lagi jenguk omanya di Sukabumi. Dah mau masuk nih, aku ke kelas dulu ya,” Boby berjalan menuju kelas XI Bahasa.
“Bob, mbok akunya ditungguin, aku kan sekelas sama kamu,” pinta Cindy.
“Iya kanjeng putri tapi jalannya yang cepet jangan lelet kaya keong.”
***
            Bel istirahat pun dibunyikan, tak sampai 10 menit kantin Mbok Iyem sudah dikerumuni murid-murid yang kelaparan. Di salah satu meja kantin ada 3 murid yang sedang serius bercakap-cakap.
“Jadi gini, sebenarnya aku punya kakak perempuan namanya Leony tapi sudah belasan tahun nggak ada kebarnya,” jelas Lya dengan menundukkan wajah.
“Kamu kok baru tahu hal sepenting ini sekarang sih Lya?” tanya Boby.
“Soalnya baru kemarin mama cerita semua ini.”
“Kok tiba-tiba mamamu cerita soal ini Lya? Kenapa mamamu nyembunyiin semua ini?” tanya Cindy.
“Iya, soalnya kemarin tuh aku nemuin foto kakakku, langsung aja aku tanya sama mama tentang foto itu, kalau soal itu sih kayaknya mamaku nggak mau sedih lagi.”
Seperti teringat sesuatu Lya pun tiba-tiba menggedor meja yang membuat teman-temannya kaget.
“Dy, aku inget sesuatu. Dalam foto itu kakakku memakai kalung berliontin bintang yang sama persis dengan yang dipakai bocah perempuan yang sering aku mimpiin.”
“Terus kalau sama emangnya kenapa Lya,” kata Cindy dengan wajah lemotnya.
“Lemot banget sih. Ya kemungkinan bocah perempuan itu kakakku dan satu-satunya cara untuk mengetahui petunjuk di mana kakakku berada ya kita harus pergi ke rumah tua yang ada di ujung jalan itu,” jelas Lya.
“Ih... aku ndak usah ikut ya Lya,” pinta Cindy.
“Dasar penakut,” ejek Boby.
“Aku ndak penakut, kita buktiin aja siapa yang penakut,” tantang Cindy.
“Ok,” jawab Boby.
***
            Ketika jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, ketiga sahabat itu sudah berada di depan rumah tua yang ada di ujung jalan tempat tinggalnya Lya.
“Malam-malam gini kok disuruh kumpul di depan rumah yang serem kayak gini kenapa sih Lya. Lagian ini kan malam jum’at kliwon,” keluh Cindy.
“Dah nggak usah banyak ngomong, ayo kita masuk,” suruh Boby.
            Akhirnya mereka mencari petunjuk di dalam rumah itu, tapi bukan petunjuk yang mereka temukan tapi malah hewan-hewan penghuni rumah itu. Rasa putus asa pun menghampiri mereka dan akhirnya mereka memutuskan untuk pulang, tapi Cindy merasa menginjak suatu benda.
“Iya ini kalung yang kamu maksud ndak,” ucap Cindy.
“Iya Dy ini kalungnya, makasih ya kanjeng putri kamu sudah nemuin petunjuk yang kita cari,” kata Lya senang.
            Setibanya di rumah, Lya langsung membangunkan kedua orang tuanya untuk memberi tahu kalau ia menemukan kalung kakaknya.
“Kamu nemuin ini di mana Lya,” seru Mama.
“Di rumah yang ada di ujung jalan komplek kita Ma.”
“Pa, kita harus ke rumah itu sekarang juga. Tadi mama juga mimpiin Leony dan sepertinya Leony ingin memberi tahu sesuatu hal,” pinta Mama.
            Ketika sampai di rumah tua tersebut, mereka tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Mama berulang kali menyebut nama Leony dengan berkaca-kaca. Sesosok gadis berambut panjang tiba-tiba datang menghampiri mereka. Dengan lirih gadis itu berkata, “Mama... Leony di sini.”
“Leony kenapa kamu bisa begini nak,” kata Mama dengan berderaian air mata.
            Leony pun menceritakan secara detail kejadian yang menimpanya. Kalau sebenarnya teman papanyalah yang membunuh dirinya yaitu Hendra. Pembunuhan itu berlatar belakang keirian terhadap usaha papanya yang sukses. Kemudian mayat Leony dikubur di dalam rumah tua tersebut karena merasa takut om Hendra pun pindah ke luar kota. Tapi kini om Hendra telah tiada karena tertabrak truk ketika mau pindah ke luar kota.
            Butir-butir mutiara yang keluar dari mata sipit Mamanyaa mengalir semakin deras.
“Jadi selama ini Hendralah yang membunuh anak kita Pa.”
            Kini Jasad Leony telah dikebumikan di TPU setempat dan ia sekarang hidup tenang di alam lain yang kekal dan abadi.

-The End-

No comments:

Post a Comment