HOME OLD
Di sudut kota hujan, fajar telah
menyapa gadis berambut hitam pekat sebahu bermata coklat yang sedang jogging
seorang diri. Gadis itu biasa dipanggil Lya. Saat sedang asyik-asyiknya
menyusuri kota ia merasa kakinya tidak bisa digerakkan. Spontan ia menoleh
kebelakang. Bocak berwajah pucat berambut panjang terurai dan kalung berliontin
bintang yang berkilau menggelantung di leher telah berdiri dihadapannya.
Matanya tajam sekali menatap. Lya pun menghiraukan bocah tersebut. Ketika ia
berjalan kembali ada seekor anjing putih mengikutinya. Kemudian anjing itu
pergi meninggalkan ia sendiri. Karena ia pecinta anjing, tanpa pikir panjang
langkah kakinya mengikuti anjing tersebut. Namun, bukan anjing yang ia temukan
tapi bocah berambut panjang yang sedang duduk dekat tiang rumah tua dengan
wajah dibenamkan di lututnya, membentuk bola kecil yang sedang mengenaskan. Lya
tidak mengatakan apa-apa pada bocah yang sedang mengisak itu, ia hanya mengelus
rambutnya. Wajahnya terangkat sedikit-sedikit dan ia pun tersentak. Ternyata
semua itu hanya bunga tidur semata.
***
Hari
yang cerah, kabut yang biasanya mengembara di pucuk-pucuk pohon telah sirna.
Sirnanya embun pagi disertai perginya kabut telah membangunkan mereka yang ada
di rumah. Sedangkan sinar matahari mulai menyusul diantara sela-sela pepohonan.
Pagi itu Lya berangkat ke sekolah
agak awal, karena ia akan memasang beberapa gambar korban tsunami di Jepang
yang ia ambil dari internet untuk ditempelkan di mading. Tak lupa ia membawa
gorengan yang masih anget untuk dibagikan ke kawan-kawannya.
Lya masih mengenakan putih abu-abu
dan duduk di kelas XI IPA di SMAN 05 Bogor. Kinara Alya Wijaya adalah putri
semata wayang dari keluarga Wijaya yang memiliki beberapa restaurant terkenal
di Semarang. Walaupun ia berasal dari keluarga berada tapi ia tetap tak mau
diantar supir dengan kendaraan mewah saat ke sekolah, ia lebih senang kalau
naik angkot ataupun bis.
Saat menuju halte bis, terlebih
dahulu ia harus melewati rumah tua yang terletak di ujung jalan. Ia selalu
merasa diawasi oleh sepasang mata. Entah kenapa saat ia melewati rumah tua itu
bulu kudunya selalu berdiri. Itu membuat gadis pemalu tersebut menjadi
ketakutan.
Seketika itu ia pun langsung
meneruskan tujuan utamanya melewati rumah tersebut. Saat akan berjalan,
dihadapannya sudah ada seorang gadis yang gayanya seperti ‘mbak-mbak’, Cindy
namanya. Menurut Lya gaya Cindy seperti selebriti yang sering nongol di TV itu
sangat berlawanan dengan dirinnya yang tanpa gincu pewarna bibir dan eyeshadow
bak pelangi di mata. Walaupun penampilan Cindy seperti itu tapi di sisi lain
dia sangat baik. Mereka sudah bersahabat sejak kecil dan selalu satu sekolah.
Rumah mereka pun masih satu komplek.
“lya, kamu
ngapain bengong di sini,” Kata Cindy sambil menepuk bahunya.
“Ng... nggak...
nggak ngapa-ngapain kok. Maaf ya aku nggak bisa nungguin kamu,” pinta Lya.
“Ya, ndak papa
kok. Tadi aku kerumahmu tapi kata Tante kamu sudah berangkat.”
“Iya soalnya
aku mau nempelin ini lho,” seru Lya dengan menyodorkan gambar yang dari tadi
dipegang.
“Oh... ya sudah
berangkat yukk, dah telat nih,” Cindy melihat jam yang melingkar di tangannya.
***
“Lya... Lya
kenapa?”
Suara Cindy menyadarkan Lya akan
keberadaan makhluk-makhluk disekelilingnya. Lya menyeka air mata. Mencoba
tersenyum semanis mungkin pada Cindy.
“Kamu sedih
ya?”
Lya menarik nafas panjang. Matanya
dikerjap-kerjapkan agar terlihat kelilipan. Lalu dengan senyum lebar yang
sepenuhnya dipaksakan, Lya merengkuh sahabatnya.
“Aku tidak
apa-apa Cindy...”
Di ujung suaranya tenggelam dalam
isak tangis yang tertahan.
“Kamu boleh
membohongi semua orang tapi tidak denganku.”
Akhirnya Lya mengadukan semuanya
pada sahabatnya itu.
“Cindy aku
takut.”
Cindy bingung tujuh keliling karena
di sekitar mereka tak ada suatu apapun yang membuat Lya ketakutan.
“Aku takut,”
Lya mengulangi kalimatnya lagi.
“Takut kenapa
sih?”
“Tadi malam aku
mimpi Dy, mimpi ketemu anak kecil yang mukanya tuh serem banget dan anak kecil
itu sering muncul di rumah tua yang ada di seberang jalan komplek kita itu
lho.”
Suasana menjadi hening sejenak.
“Aku dah mimpi
kayak gitu berulang kali.”
Dengan wajah sok tahu Cindy pun
berkata.
“Mungkin anak
kecil itu saudara kandungmu yang sudah meninggal.”
“Sotoy kamu Dy,
kamu kan tahu kalau aku anak tunggal. Tapi bisa juga sih.”
“Dah ndak usah
dipikirin, mimpi itu Cuma bunga tidur,” jawab Cindy dengan nada menyakinkan.
“By the way si
Boboho dan Nabila mana? Dari tadi kok ndak kelihatan batang hidungnya, di sms
juga ndak di bales.”
“Tuh mereka,”
ucap Lya sambil menunjuk ke arah cewek berkacamata dan cowok bertubuh subur.
“Hay guys,”
sapa Boby
“Sorry ya Dy
tadi aku nggak bisa bales smsmu soalnya ada panggilan alam mendadak, hehe,”
seru Nabila sambil nyengir kuda.
“Pantesan
baunya sampai sini,” ejek Cindy seraya tertawa yang di ikuti oleh
teman-temannya.
Dengan sepontan bibir Nabila maju 5
cm dan wajah cemberut pun dipamerkannya.
“Dah nggak usah
cemberut, sekarang pesan makanan ja yuk,” ajak Boby yang dari tadi cacing di
perutnya pada demo.
***
Kesunyian sang
penerang malam kini telah menerpa. Walaupun hidangan sudah tersaji di atas meja
tapi tak sepatah kata pun keluar dari bibir mereka. Hingga salah satu suara
memecah keheningan itu.
“Ma...” kata
Lya.
“Ya sayang, ada
apa?”
“Sebenarnya Lya
punya saudara kandung nggak sih? Kalau punya kenapa Mama dan Papa nggak pernah
cerita,” tanya Lya dengan menatap lekat-lekat kedua orang tuanya.
Seketika itu sepasang suami istri
tersebut bertatapan beberapa menit dan mengubah suasana itu seperti semula.
“Kamu dapat
anggapan seperti itu dari mana Lya?” tanya Papa.
“Dari Cindy
Pa,” jawab Lya dengan polosnya.
“Dah kamu nggak
usah percaya omongan temen-temenmu, mungkin Cindy lagi jailin kamu.” Sambung
Mama, “Inget kata Mama ya sayang, kamu itu anak tunggal Mama dan Papa.”
Beberapa hari setelah kejadian itu,
ia tak pernah mengungkitnya lagi dan menghiraukan perkataan Cindy yang kemarin.
Hingga suatu ketika peristiwa yang tak pernah terbesitpun terjadi.
“Pagi Mama,”
sapa Lya sambil mencium Pipi mamanya.
“Pagi juga
sayang, lho kok sudah pulang?”
“Ya Ma, soalnya
ada rapat guru jadi pulang pagi deh,” jelas Lya.
“Oh... sayang
tolong ambilin gunting mama di laci kamar ya,” suruh mama yang sedang menyulam.
Setibanya
di kamar mama, Lya membuka semua laci yang ada dan ketika ia membuka laci dalam
sebuah almari, ia terkejut karena bukan gunting yang ia dapat tapi malah
selembar foto yang asing baginya.
“Cewek ini
siapa ya? Kok foto sama Mama dan Papa,” bisiknya dalam hati. Tanpa pikir
panjang ia segera menemui mamanya yang ada di ruang keluarga.
“Ma, cewek
dalam foto ini siapa ya?” tanya Lya ingin tahu.
Dengan berkaca-kaca mamanya pun
terpaksa memutar memori yang sebenarnya tak ingin dibuka kembali. Sebuah
tragedi yang menyanyat hati saat seorang Ibu harus kehilangan putri yang ia
kasihi.
“Sebenarnya
kamu punya kakak perempuan, namanya Leony. Tapi sampai sekarang kakakmu tak
tahu di mana, mama juga nggak tahu apa sekarang dia masih hidup atau sudah
meninggal.”
Keesokan harinya saat Lya berjalan
di koridor sekolah bersama Cindy. Ia menceritakan sesuatu yang membuat Cindy
menganga.
“Masa’ kamu
punya mbak to Lya,” kata Cindy dengan bahasa medoknya.
“Beneran tapi
sekarang...” ucap Lya yang tiba-tiba berhenti karena sebuah tangan menepuk
pundaknya.
“Dipanggil-panggil
pada nggak denger, emangnya ngomong apa sih?” tanya Boby.
“Lho kamu tadi
panggil kita Bob,” jawab Lya.
“He’em tapi
pada nggak denger, by the way tadi kalian ngomongin apa sih? Kok serius
banget,” ujar Boby.
“Istirahat ntar
aku cerita’in, lagian tadi Cindy juga baru sedikit kok dengerinnya. Jangan lupa
ngajak Nabila,” kata Lya panjang lebar.
“Hari ini Bila
nggak berangkat, katanya sih lagi jenguk omanya di Sukabumi. Dah mau masuk nih,
aku ke kelas dulu ya,” Boby berjalan menuju kelas XI Bahasa.
“Bob, mbok
akunya ditungguin, aku kan sekelas sama kamu,” pinta Cindy.
“Iya kanjeng
putri tapi jalannya yang cepet jangan lelet kaya keong.”
***
Bel istirahat pun dibunyikan, tak
sampai 10 menit kantin Mbok Iyem sudah dikerumuni murid-murid yang kelaparan.
Di salah satu meja kantin ada 3 murid yang sedang serius bercakap-cakap.
“Jadi gini,
sebenarnya aku punya kakak perempuan namanya Leony tapi sudah belasan tahun
nggak ada kebarnya,” jelas Lya dengan menundukkan wajah.
“Kamu kok baru
tahu hal sepenting ini sekarang sih Lya?” tanya Boby.
“Soalnya baru
kemarin mama cerita semua ini.”
“Kok tiba-tiba
mamamu cerita soal ini Lya? Kenapa mamamu nyembunyiin semua ini?” tanya Cindy.
“Iya, soalnya
kemarin tuh aku nemuin foto kakakku, langsung aja aku tanya sama mama tentang
foto itu, kalau soal itu sih kayaknya mamaku nggak mau sedih lagi.”
Seperti
teringat sesuatu Lya pun tiba-tiba menggedor meja yang membuat teman-temannya
kaget.
“Dy, aku inget
sesuatu. Dalam foto itu kakakku memakai kalung berliontin bintang yang sama
persis dengan yang dipakai bocah perempuan yang sering aku mimpiin.”
“Terus kalau
sama emangnya kenapa Lya,” kata Cindy dengan wajah lemotnya.
“Lemot banget
sih. Ya kemungkinan bocah perempuan itu kakakku dan satu-satunya cara untuk
mengetahui petunjuk di mana kakakku berada ya kita harus pergi ke rumah tua
yang ada di ujung jalan itu,” jelas Lya.
“Ih... aku ndak
usah ikut ya Lya,” pinta Cindy.
“Dasar
penakut,” ejek Boby.
“Aku ndak
penakut, kita buktiin aja siapa yang penakut,” tantang Cindy.
“Ok,” jawab
Boby.
***
Ketika jam menunjukkan pukul 22.00
WIB, ketiga sahabat itu sudah berada di depan rumah tua yang ada di ujung jalan
tempat tinggalnya Lya.
“Malam-malam
gini kok disuruh kumpul di depan rumah yang serem kayak gini kenapa sih Lya.
Lagian ini kan malam jum’at kliwon,” keluh Cindy.
“Dah nggak usah
banyak ngomong, ayo kita masuk,” suruh Boby.
Akhirnya mereka mencari petunjuk di
dalam rumah itu, tapi bukan petunjuk yang mereka temukan tapi malah hewan-hewan
penghuni rumah itu. Rasa putus asa pun menghampiri mereka dan akhirnya mereka
memutuskan untuk pulang, tapi Cindy merasa menginjak suatu benda.
“Iya ini kalung
yang kamu maksud ndak,” ucap Cindy.
“Iya Dy ini
kalungnya, makasih ya kanjeng putri kamu sudah nemuin petunjuk yang kita cari,”
kata Lya senang.
Setibanya di rumah, Lya langsung
membangunkan kedua orang tuanya untuk memberi tahu kalau ia menemukan kalung
kakaknya.
“Kamu nemuin
ini di mana Lya,” seru Mama.
“Di rumah yang
ada di ujung jalan komplek kita Ma.”
“Pa, kita harus
ke rumah itu sekarang juga. Tadi mama juga mimpiin Leony dan sepertinya Leony ingin
memberi tahu sesuatu hal,” pinta Mama.
Ketika sampai di rumah tua tersebut,
mereka tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Mama berulang kali menyebut nama
Leony dengan berkaca-kaca. Sesosok gadis berambut panjang tiba-tiba datang
menghampiri mereka. Dengan lirih gadis itu berkata, “Mama... Leony di sini.”
“Leony kenapa
kamu bisa begini nak,” kata Mama dengan berderaian air mata.
Leony pun menceritakan secara detail
kejadian yang menimpanya. Kalau sebenarnya teman papanyalah yang membunuh
dirinya yaitu Hendra. Pembunuhan itu berlatar belakang keirian terhadap usaha
papanya yang sukses. Kemudian mayat Leony dikubur di dalam rumah tua tersebut
karena merasa takut om Hendra pun pindah ke luar kota. Tapi kini om Hendra
telah tiada karena tertabrak truk ketika mau pindah ke luar kota.
Butir-butir mutiara yang keluar dari
mata sipit Mamanyaa mengalir semakin deras.
“Jadi selama
ini Hendralah yang membunuh anak kita Pa.”
Kini Jasad Leony telah dikebumikan
di TPU setempat dan ia sekarang hidup tenang di alam lain yang kekal dan abadi.
-The End-
No comments:
Post a Comment